Politik pecah belah atau politik adu domba (devide et impera) adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Awalnya, devide et impera merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga devide et impera tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik
Efek dramatis lain yang menggambarkan strategi ini adalah penghasutan yang dilakukan oleh sebuah kelompok kepada kelompok lainnya (Oxford Dictionaries).
Devide et Impera masa Konolialis
Sejak zaman penjajahan, Belanda telah menggunakan sistem politik adu domba untuk menguasai wilayah Nusantara. Politik yang dinamakan Devide et Impera inipun sukses memecah belah masyarakat Nusantara dan mengantarkan Belanda menguasai wilayah Nusantara.
Sejak dahulu bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, masyarakat Indonesia memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang beragam. Keberagaman ini memudahkan Belanda dalam melaksanakan politik adu dombanya, propaganda, fitnah dan segala upaya untuk memecah belah dijalankan oleh Belanda.
Sayangnya, pemahaman umum mengenai strategi ini cuma sampai disini, kebanyakan orang yang menggunakan istilah inipun tidak benar-benar tahu apa sebenarnya devide et impera itu apalagi memahami bagaimana strategi ini beroperasi. Istilah devide et impera berasal dari bahasa spanyol yang dalam bahasa indonesia menjadi belah dan kuasai. Istilah ini merujuk pada sebuah strategi perang yang mengkombinasikan strategi politik, ekonomi dan sosial untuk menguasai sebuah wilayah atau kelompok.
Dalam pelaksaannya politik devide et impera ini dijalankankan dengan cara penentangan kekuasaan yang berada di wilayah kerajaan maupun masyarakat. Penentangan yang dilakukan oleh Belanda ini akan menimbulkan munculnya dua kubu di dalam satu kelompok. Belanda pun memanfaatkan hal ini dengan pro ke salah satu kubu dan menelantarkan kubu yang lainnya. Belanda akan memunculkan isu-isu yang membuat kelompok itu saling bertentangan dan kekuasaanya pun goyah. Dalam kegoyahan inilah Belanda pun akan masuk dan menguasai kelompok tersebut.
Dalam konteks Indonesia dimasa kolonial, pemerintahan kolonial Belanda menggunakan beberapa model pembelahan yang dapat dilihat dalam konstruksi aturan, yaitu; pertama, melakukan segregasi sosial berdasarkan Staatsregeling No. 163 IS/1854 yang membagi populasi di Hindia belanda menjadi tiga lapisan (Eropa, Timur Jauh meliputi Cina, India dan Arab dan Pribumi). Ketiga populasi tersebut juga menggunakan mekanisme kontrol hukum yang berbeda yaitu hukum positif bagi Eropa, hukum agama bagi Timur jauh dan hukum adat bagi Pribumi.
Penerapan strategi ini dapat dilakukan secara represif dengan melakukan karantina teritorial maupun penyerangan terhadap kelompok tertentu. Di lain pihak, strategi ini juga dapat diterapkan secara ideologis dengan mengeksploitasi perbedaan yang ada di masyarakat juga melakukan represi terhadap pemikiran tertentu dan menciptakan teror psikologis seperti ancaman ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Teror acak terhadap etnis (cont; kasus Sampang, Ambon dan Sampit) tertentu dan sentimen rasial (cont; diskriminasi etnis Tionghoa) juga merupakan bagian dari strategi ini.
Pihak – pihak yang ingin menguasai atau ingin mendikte arah kebijakan Indonesia sangat mempunyai peran dalam strategi penerapan politik devide et impera di Indonesia. Pem-viralan isue terus digulirkan untuk memecah belah persatuan Indonesia, hampir sejak jatuhnya kepemimpinan era orde baru di Indonesia Isue SARA, terus bergulir bahkan sampai pada perbedaan pemilihan capres.
Saat ini bukan hanya kubu kebangsaan yang terus tergerus menjadi berkubu kubu, bahkan sudah sampai pemecah belahan umat Islam yang merupakan komponen terbesar di Indonesia. Namun bukan kekuatan asing atau campur tangan negara, melainkan tangan rakyat jelata. Inilah yang dinamakan rekayasa politik devide et Impera.